widgeo.net

Senin, 31 Agustus 2015

Analisis Novel Salah Pilih



IDENTIFIKASI

1.     ` Identitas Buku
Judul                           : Salah Pilih
Penulis                         : Nur Sutan Iskandar
Penerbit                       : Balai Pustaka
Cetakan ke                  : 27
Tempat Terbit              : Jakarta
Tahun Terbit                : 1928 ( Cetakan Pertama )
                                      2006 ( Cetakan ke-27 )
Jumlah halaman           : viii + 262 Halaman
Ukuran                                    : 14 X 20,5 cm
ISBN                           : 979-407-178-1

2.      Biografi pengarang
            Muhammad Nur atau yang lebih dikenal dengan nama Nur Sutan Iskandar lahir pada tanggal 3 November 1893 di Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat. Adapun asal usul namanya menjadi Nur Sutan Iskandar bermula ketika ia menikahi Aminah. Oleh keluarga Aminah, ia diberi gelar Sutan Iskandar. Sejak itu, ia memakai gelar itu dipadukan dengan nama aslinya menjadi Nur Sutan Iskandar.
Dari perkawinannya dengan Aminah itu, Nur Sutan memperoleh lima anak:
1) Nursinah Supardo, lahir 5 Januari 1918, 2) Nursjiwan Iskandar, lahir 6 November 1921, 3) Nurma Zainal Abidin, lahir 24 Mei 1925, 4) Nurtinah Sudjarno lahir 7 Agustus 1928, dan 5) Nurbaity Iskandar, lahir 22 Maret 1933. Dua dari lima anaknya, yaitu Nursinah Supardo dan Nursjiwan Iskandar menuruni bakatnya, gemar dengan dunia karang mengarang.
Nur kecil menghabiskan masa kanak-kanaknya di tempat kelahirannya, Sungaibatang. Sungai Batang itu terletak di tepi Danau Maninjau. Keindahan kampungnya dan suasana kehidupan masyarakat di kampungnya itu, betul-betul diresapinya. Hal ini terlihat kemudian dari karya-karya yang dilahirkannya. Dallam Pengalaman Masa Kecil (1949), misalnya, Nur Sutan Iskandar dengan jelas bercerita tentang keindahan kampung halamannya dan suka duka masa kecilnya. Sementara itu, dalam Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1923), Cinta yang Membawa Maut (1926), Salah Pilih (1928), dan Karena Menua (1932), ia banyak bercerita tentang kepincangan yang terjadi dalam masyarakatnya, khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat.
Nur Sutan Iskandar menamatkan pendidikan sekolah rakyatnya pada tahun 1909. Setahun berikutnya, ia diangkat menjadi guru bantu di sekolah yang sama. Setelah itu, ia pindah ke kota Padang. Selanjutnya tahun 1919, ia meninggalkan kota Padang dan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia bekerja di Balai Pustaka mengoreksi naskah-naskah karangan yang masuk ke redaksi. Ia mendapat tugas itu dari Sutan Muhammad Zein, Pemimpin Balai Pustaka saat itu. Di Balai Pustaka itulah, ia banyak memperoleh pengalaman dan pengetahuan mengenai  dunia karang mengarang dan juga mulai terasah bakatnya ke arah itu.
Ketika berkesempatan  mengikuti Kongres Pemuda di Surabaya (1930-an), ia berkenalan dengan Dokter Sutomo, tokoh pendiri Budi Utomo. Oleh Dr. Sutomo, ia diajak  berkeliling kota Surabaya. Hampir semua tempat di sana mereka kunjungi, tidak terkecuali tempat pelacuran. Bakat menulisnya yang sudah tumbuh, mulai memainkan peran. Pengalaman di tempat pelacuran itu, kemudian dituangkannya menjadi karangan yang diberi judul Neraka Dunia (1937).
Meskipun hanya berijazah sekolah dasar, Nur Sutan Iskandar dikenal sebagai orang yang haus akan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sambil bekerja ia terus berusaha untuk menambah pengetahuannya, baik secara formal maupun nonformal. Pada tahun 1921, ia dinyatakan lulus dari Kleinambtenaar ‘pegawai kecil’ di Jakarta dan tahun 1924, ia juga mendapat ijazah dari Gemeentelijkburen Cursus ‘Kursus Pegawai Pamongpraja’ di Jakarta. Sementara itu, ia juga  terus memperdalam kemampuan berbahasa Belandanya.
Berkat ketekunannya, ia diangkat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925—1942) dan  Kepala Pengarang Balai Pustaka (1942—1945). Pada saat-saat itulah, kekereatifannya sebagai penulis sangat berkembang. Nur Sutan Iskandar termasuk penulis yang produktif. Tidak saja menulis karya asli, ia juga menulis karya saduran dan terjemahan. Hal itu dimungkinkan karena penguasaan bahasa asingnya cukup baik.
Tokoh Angkatan Balai Pustaka ini (seangkatan dengan Merari Siregar, Marah Rusli, dan Hamka) menghembuskan nafasnya yang terakhir di Jakarta, pada usia 82 tahun, tepatnya tanggal 28 November 1975.

3.      Sinopsis

 Di sebuah tempat bernama Sungaibatang, Maninjau, Suku Minang, Sumatera barat, tinggal sebuah keluarga yang terdiri atas seorang ibu, seorang anak laki-laki dan seorang lagi perempuan, serta seorang pembantu. Ibu itu bernama Mariati, si lelaki, Asri, dan yang perempuan, Asnah. Sementara pembantu itu bernama Liah dan dua anak itu biasa memanggilnya Mak Cik Lia. Keluarga itu saling mengasihi satu sama lain sekalipun dengan si pembantu dan Asnah yang bukan anak kandung Bu Mariati, mereka tidak peduli dengan hal tersebut. Asnah pun juga sayang pada perempuan yang dianggap sebagai ibu kandung itu.
Ia selalu sabar merawat Bu Mariati yang tengah sakit.
Asri dan Asnah semakin lama semakin dewasa dan semakin akrab sebagai saudara. Mereka terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya yang tidak diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya. Namun ada satu hal yang sangat dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak, melainkan rasa sayang seorang kekasih. Gadis itu sangat terpukul ketika sang ibu meminta anak lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang akan menjadi pendamping Asri karena adat melarang pernikahan sesuku seperti mereka. Asri menjatuhkan pilihan pada seorang putri bangsawan yang cantik, adik kandung mantan kekasihnya. Gadis itu bernama Saniah. Mereka bertunangan lalu menikah setelah melewati beberapa adat Minangkabau.
Pernikahan Asri dengan Saniah sangat jauh dari kata ‘bahagia’. Keduanya memiliki perbedaan yang sangat kuat dalam masalah adat. Saniah selalu disetir sang ibu untuk mengikuti adat yang sangat kaku dan kuno menurut Asri, karena Asri sudah terbiasa dengan pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati adat, namun ia tidak suka terlalu dikekang dan dipaksa-paksa seperti yang dilakukan Saniah padanya. Selain itu, Saniah adalah wanita yang sombong, keras kepala, membedakan kelas sosial masyarakat, dan tidak suka bergaul dengan tetangga. Saniah sangat cemburu dengan keberadaan Asnah dan ia ingin menyingkirkan gadis itu dengan berbagai cara, tentunya peran sang ibu tidak tertinggal.
Suatu hari penyakit bu Mariati menjadi sangat parah. Asnah beserta Mak Cik Liah bergantian menjaganya, tak lupa juga Asri lebih sering mengunjungi ibunya yang telah diasingkan Saniah di bagian rumah mereka yang lain. Penyakit bu Mariati tidak dapat disembuhkan dan nyawanya telah lepas dari raga. Sebelum meninggal, ibu itu berpesan kepada anaknya, ia menyesal telah meminta Asri menikah, apalagi dengan Saniah. Wanita itu juga menjelaskan adat Minang yang tidak melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah.Wanita itu berpesan agar anak lelakinya itu menikah dengan anak angkatnya, Asnah yang sifatnya sangat mulia dan dimata semua orang.
Setelah kematian sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu dan tidak bisa mengambil keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada Asnah. Asri sangat lega ketika Asnah menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa saling bicara, keduanya bisa mengerti bahwa ada cinta diantara mereka. Saniah menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri sehingga ia sangat marah kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah memilih pergi dari rumah itu dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak kepergian Asnah, Asri tetap sering bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi berada di rumah gadang itu.
Suatu ketika bu Saleah, ibu dari Saniah mendapat kabar bahwa anak lelakinya akan menikah dengan gadis biasa di perantauan. Ibu itu merasa geram, ia tidak mau mempunyai menantu miskin dan dari suku lain, kemudian ia mengajak Saniah beserta pembantu mereka pergi ketempat putranya untuk menggagalkan pernikahan itu. Saking geramnya, bu Saleah meminta sopir mobil yang ia sewa untuk mengebut walaupun jalanan sangat sulit. Alhasil, mobil yang mereka tumpangi kurang kendali sehingga masuk jurang lalu Saniah dan ibunya meninggal dunia.
Semenjak Asri menduda, banyak wanita yang datang menghampirinya. Namun, ia tidak pernah goyah untuk mencintai Asnah, walaupun wanita-wanita yang menghampirinya lebih cantik. Asri tidak bisa lagi menahan cintanya. Setelah berunding dengan bibinya yang sekarang merawat Asnah, ia memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan segala harta dan jabatannya untuk merantau ke Jawa, karena jika tidak pergi dari situ, maka keduanya akan dikeluarkan dari suku secara tidak hormat. Perantauannya menghasilkan sesuatu yang baik. Asri punya kedudukan yang baik dan keduanya mempunyai banyak teman di sana. Ditengah rutinitas mereka di Jawa, tepatnya di Jakarta, tiba-tiba datang surat dari Maninjau meminta agar keduanya kembali ke sana dan Asri diminta untuk menjadi kepala pemerintahan.
Tanpa pikir panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta, mereka sangat rindu dengan kampung kelahirannya itu. Setibanya di Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang sangat menghormati Asri atas jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas kelembutan tabiat Asnah. Berawal dari Asri yang salah pilih istri, ia menjadi tahu siapa orang yang sebenarnya ia cintai dan dengan berusaha keras ia mampu hidup bersama sang kekasih dalam mahligai rumah tangga yang penuh cinta di kampung halaman tercinta.

4.         Analisis Unsur Intrinsik
v  Tema
Percintaan, pertentangan melawan adat, dan kesalahan seseorang dalam menentukan pilihan hatinya.

v  Latar/Setting
ü  Tempat     : Dalam roman ini disebutkan latarnya yaitu di daerah Minangkabau, Sumatera Barat yaitu di Maninjau, Sungai Batang, Bayur, dan Bukittinggi. Sebagian juga mengambil latar di pulau Jawa.
ü  Suasana    : Latar suasananya lebih berbau Melayu dan menampakkan suasana tegang, kacau, sedih dan gembira.
ü  Waktu      : Saat pagi, siang, sore dan malam.

v  Tokoh dan penokohan
1)      Asri           : penyayang, sabar, terpelajar, taat pada orang tua.
2)      Asnah        : berbudi luhur, ramah, pemaaf, taat pada orang tua, agak
                       tertutup.
3)      Mariatih     : baik hati, sayang keluarganya.
4)      Siti Maliah: baik hati, penyayang.
5)      Saniah       : pandai berakting, angkuh, suka menyindir, pencemburu, pemarah.
6)      Rusiah       : sabar,baik, lembut.
7)      Rangkayo  : sombong dan angkuh
8)      Dt. Indomo: baik, tetapi takut pada istri
9)      Kaharuddin: tidak suka membedakan orang, baik hati

v  Alur
Dalam roman ini menggunakan alur maju
v  Gaya penulisan yang digunakan dalam roman ini banyak memakai bahasa Melayu dan juga terdapat beberapa pantun.
v  Gaya bahasa
ü  Personifikasi è Halaman 138   “Matanya bersinar-sinar”.
ü  Metonimia : Pada setiap judul subbagian dalam cerita. Dan masih banyak lagi

v  Amanat yang disampaikan dalam roman ini adalah :
ü  Di dalam cerita ini tersirat bahwa kekuatan Cinta lebih berharga daripada Harta.
ü  Cerita ini menggambarkan bahwa kitra harus mengikuti adat-istiadat yang berlaku di daerah kita.
ü  Cerita ini menerangkan bahwa pendidikan itu sangat penting walaupun jauh sampai ke negeri Belanda.
ü  Cerita ini memberi pemahaman kepada kita bahwa hidup ini dipenuhi dengan politik dan hukum
ü  Cerita ini mengamanatkan kepada kita bahwa kita harus menghargai budaya yang berlaku di daerah kita.
ü  Roman ini mengingat kan kita untuk menjauhi larangan-larangan nya.

v  Sudut Pandang
Dalam roman ini yaitu menggunakan “orang pertama pelaku utama”


5.         Adat, Kebiasaan, Pola Pikir, Etika dan Perasaan
A.    Adat
1.         Dilarang menikah jika pasangan sesama suku, pada kalimat:
“Gadis itu sangat terpukul ketika sang ibu meminta anak lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang akan menjadi pendamping Asri karena adat melarang pernikahan sesuku seperti mereka.
2.         Adat yang dilakukan pasangan Asri dan saniah dengan adat Minangkabau, pada kalimat:
Mereka bertunangan lalu menikah setelah melewati beberapa adat Minangkabau.”
3.         Dilarang menikah jika suatu pasangan sedarah, pada kalimat:
“Wanita itu juga menjelaskan adat Minang yang tidak melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah.”
4.         Jika suatu pasangan tidak meninggalkan daerah asal mereka akan dikeluarkan secara tidak hormat, paa kalimat:
Ia memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan segala harta dan jabatannya untuk merantau ke Jawa, karena jika tidak pergi dari situ, maka keduanya akan dikeluarkan dari suku secara tidak hormat.

B.     Kebiasaan
1.         Ditambahnya panggilan Mak Cik pada awal nama, pada kalimat:
Sementara pembantu itu bernama Liah dan dua anak itu biasa memanggilnya Mak Cik Lia.”
2.         Terbiasa jujur dalam satu keluarga, pada kalimat:
       Mereka terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya yang tidak diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya.”

C.     Pola piker

D.    Etika
1.         Asri menghormati adat dari ibunya, pada kalimat :
“...karena Asri sudah terbiasa dengan pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati adat...”
2.         Penyambutan meriah oleh warga untuk orang yang berjasa, pada kalimat:
Setibanya di Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang sangat menghormati Asri atas jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas kelembutan tabiat Asnah.

E.     Perasaan
1.         Asnah menyayangi Asri, pada kalimat:
Namun ada satu hal yang sangat dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak, melainkan rasa sayang seorang kekasih.”
2.         Asri menyayangi Asnah, pada kalimat:
Dan ia baru menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah
3.         Saniah marah kepada Asnah karena suaminya dekat dengan Asnah, pada kalimat:
Saniah menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita yang tidak tahu diri
4.         Ibu Saleah geram karena Asri menantunya akan menikah dengan Asnah, pada kalimat:
Ibu itu merasa geram, ia tidak mau mempunyai menantu miskin dan dari suku lain
5.         Asri berat meninggalkan kawannya di Jakarta untuk kembali ke kampung halaman, pada kalimat:
Tanpa pikir panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta, mereka sangat rindu dengan kampung kelahirannya itu.


































Daftar Pustaka


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar