Pagi yang Cukup Aneh
Oleh Isyhar Haafish Azizah
Setelah
aku memarkinkan sepedaku, aku berlari ke kelas dan saking terburu-buru, aku
menyenggol Syintia yang sedang berbincang-bincang bersama Dicky dan Ratna.
“Woy!
Ati-ati dikit dong! Cepetan turun, kita dapet bagian jadi petugas upacara nih!”
Seru Syntia yang berjalan pergi meninggalkan kelas.
Aku
sadar, hari ini 28 Oktober dan kelasku menjadi petugas upacara. Ah tenanglah!
Hanya jadi paduan suara.
“Udah
ngerjain pr matika belum Dit? Pasti belum” Tanya Yanti, teman sebangkuku.
“Hah?!
Pr matika? Aku kan ga tau, ah udahlah, ayo kita turun dan segera menempatkan
diri” Ajakku sambil menarik tangan Yanti meninggalkan kelas.
Aku
dan Yanti pun turun dan segera menempatkan diri di barisan paduan suara bersama teman-teman. Aku rasa lima menit lagi
upacara dimulai. Namun aku melihat Bu Viola memanggilku dengan gerakan tangan
memanggil seseorang. Aku yakin yang dimaksud Bu Viola bukan aku.
“Hey!
Kamu yang pakai kucir abu-abu!” Seru Bu Viola, sontak aku kaget, aku lihat
kucir teman-temanku, sial! Hanya aku yang memakai kucir abu-abu.
“Hey?!
Iya kamu, sini !” Seru Bu Viola, arah telunjuknya mengarah ke aku! Akupun
meletakkkan jari telunjukku ke dadaku, seperti bertanya – Aku?!
Akupun
kesana dan akupun diberikan secarik kertas dan kubaca ternyata teks sumpah
pemuda. Berarti aku yang membacanya?
“Maaf
nak kelasmu belum ada yang membaca sumpah pemuda. Kamu saja ya? Namamu?” tanya
Bu Viola dengan nada cepat.
“Tapi
kenapa harus? Oke , Ditya Amina Rosa Ditya Prabaninggar” jawabku dengan pasrah,
dan aku harus bisa!
Bu
Viola mendorongku pelan ke arah posisiku sebenarnya. Akupun kesana, namun
kenapa perutku sakit? Ah sudahlah itu mungkin hanya sebentar. Upacarapun
dimulai aku takut ada kesalahan, aku baca berulang kali dan membayangkan nada
yang akan aku katakan nanti. Yah inilah saatnya akupun maju, sial tak terduga
perutku sakit lagi, badanku menggigil, gugup dan kini tambah parah. Aku harus
bisa!
“Satu
kami putra dan putri Indonesia, bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia!
Dua kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia!
Tiga kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia!” Seruku dan diikuti semua warga sekolah, entah seberapa lantahnya
suaraku, aku tak bisa menebaknya, tubuhku berkeringat dingin, dan saat aku
berjalan kembali keposisiku, jejakku terasa melayang, aku tak fokus, saat aku
melihat kebelakang, tiba-tiba semua gelap.
“Dimana
aku, Yanti, Aira? Kenapa kalian disini?” tanyaku saat aku membuka mata, dari
mimpi gelapku.
“Dit,
tadi kamu pingsan, dengan sigap kakak KKN menolongmu, membawamu ke UKS” Kata
Aira berdiri menatapku yang terbaring lemas di UKS.
“Tapi
kamu sukses, baguslah, ayo toss Dicky” Canda Yanti, sambil mengambil sikap toss
kepalan tangan. Yah, ejekanku di kelas adalah Dicky, aku tak suka itu,
menyebalkan.
“Nih
teh, anget lho. Mau kan, biar enakan badannya, tadi kan kamu dingin banget.
Kamu kenapa sih?” Tanya Aira memberiku teh hangat. Aku pun menerimanya dengan
senang hati, maklum saja, tadi aku baru sarapan sedikit.
“Ah
dasar Dicky, kamu laper apa doyan? Ketauan nih belom sarapan” Celetuk Yanti
menepuk punggungku.
“Hehehe,
emang aku belum sarapan. Aku kira Cuma jadi paduan suara, eh jadi yang mbaca
teks sumpah pemuda. Lemes deh, enak juga tehnya, makasih ya” Kataku jujur, aku
memang belum sarapan, maklum aku sangat terburu-buru.
“Ah,
udah yuk, ke kelas, udah baikan ko. Tapi aku kan belum ngerjain pr Matika?
Gimana nih?” Kataku agak panik.
“Hey,
kamu tau pingsan berapa lama? 1 jam pelajaran tau! Kalau kamu mau ke kelas
gapapa, toh nanti prnya udah dicocokin, hehehe” Sahut Yanti dengan nada
khasnya. Aku pingsan satu jam pelajaran?! Yang bener aja, daripada lama-lama
disini, sebaiknya kami kembali ke kelas untuk mengikuti pelajaran Matika.
“Uhm,
pagi yang cukup aneh untukku” Sahutku berjalan menaiki tangga dan kembali ke
kelas. Mereka hanya tertawa sambil membantuku berjalan.
TAMAT