IDENTIFIKASI
1. ` Identitas
Buku
Judul :
Salah Pilih
Penulis :
Nur Sutan Iskandar
Penerbit :
Balai Pustaka
Cetakan ke :
27
Tempat Terbit :
Jakarta
Tahun Terbit :
1928 ( Cetakan Pertama )
2006 ( Cetakan ke-27 )
Jumlah halaman :
viii + 262 Halaman
Ukuran :
14 X 20,5 cm
ISBN : 979-407-178-1
2. Biografi
pengarang
Muhammad Nur atau yang lebih dikenal dengan nama Nur Sutan Iskandar lahir pada tanggal 3 November 1893 di
Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat. Adapun asal usul namanya menjadi Nur
Sutan Iskandar bermula ketika ia menikahi Aminah. Oleh keluarga Aminah, ia
diberi gelar Sutan Iskandar. Sejak itu, ia memakai gelar itu dipadukan dengan
nama aslinya menjadi Nur Sutan Iskandar.
Dari
perkawinannya dengan Aminah itu, Nur Sutan memperoleh lima anak:
1) Nursinah Supardo, lahir 5
Januari 1918, 2) Nursjiwan Iskandar, lahir 6 November 1921, 3) Nurma Zainal
Abidin, lahir 24 Mei 1925, 4) Nurtinah Sudjarno lahir 7 Agustus 1928, dan 5)
Nurbaity Iskandar, lahir 22 Maret 1933. Dua dari lima anaknya, yaitu
Nursinah Supardo dan Nursjiwan Iskandar menuruni bakatnya, gemar dengan dunia
karang mengarang.
Nur kecil
menghabiskan masa kanak-kanaknya di tempat kelahirannya, Sungaibatang. Sungai
Batang itu terletak di tepi Danau Maninjau. Keindahan kampungnya dan suasana
kehidupan masyarakat di kampungnya itu, betul-betul diresapinya. Hal ini
terlihat kemudian dari karya-karya yang dilahirkannya. Dallam Pengalaman
Masa Kecil (1949), misalnya, Nur Sutan Iskandar dengan jelas bercerita
tentang keindahan kampung halamannya dan suka duka masa kecilnya. Sementara
itu, dalam Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1923), Cinta yang Membawa
Maut (1926), Salah Pilih (1928), dan Karena Menua (1932), ia
banyak bercerita tentang kepincangan yang terjadi dalam masyarakatnya,
khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat.
Nur Sutan
Iskandar menamatkan pendidikan sekolah rakyatnya pada tahun 1909. Setahun
berikutnya, ia diangkat menjadi guru bantu di sekolah yang sama. Setelah itu,
ia pindah ke kota Padang. Selanjutnya tahun 1919, ia meninggalkan kota Padang
dan hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, ia bekerja di Balai Pustaka mengoreksi
naskah-naskah karangan yang masuk ke redaksi. Ia mendapat tugas itu dari Sutan
Muhammad Zein, Pemimpin Balai Pustaka saat itu. Di Balai Pustaka itulah, ia
banyak memperoleh pengalaman dan pengetahuan mengenai dunia karang
mengarang dan juga mulai terasah bakatnya ke arah itu.
Ketika
berkesempatan mengikuti Kongres Pemuda di Surabaya (1930-an), ia
berkenalan dengan Dokter Sutomo, tokoh pendiri Budi Utomo. Oleh Dr. Sutomo, ia
diajak berkeliling kota Surabaya. Hampir semua tempat di sana mereka
kunjungi, tidak terkecuali tempat pelacuran. Bakat menulisnya yang sudah
tumbuh, mulai memainkan peran. Pengalaman di tempat pelacuran itu, kemudian
dituangkannya menjadi karangan yang diberi judul Neraka Dunia (1937).
Meskipun
hanya berijazah sekolah dasar, Nur Sutan Iskandar dikenal sebagai orang yang
haus akan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sambil bekerja ia terus berusaha
untuk menambah pengetahuannya, baik secara formal maupun nonformal. Pada tahun
1921, ia dinyatakan lulus dari Kleinambtenaar ‘pegawai kecil’ di Jakarta
dan tahun 1924, ia juga mendapat ijazah dari Gemeentelijkburen Cursus ‘Kursus
Pegawai Pamongpraja’ di Jakarta. Sementara itu, ia juga terus memperdalam
kemampuan berbahasa Belandanya.
Berkat
ketekunannya, ia diangkat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925—1942)
dan Kepala Pengarang Balai Pustaka (1942—1945). Pada saat-saat itulah,
kekereatifannya sebagai penulis sangat berkembang. Nur Sutan Iskandar termasuk
penulis yang produktif. Tidak saja menulis karya asli, ia juga menulis karya
saduran dan terjemahan. Hal itu dimungkinkan karena penguasaan bahasa asingnya
cukup baik.
Tokoh Angkatan Balai Pustaka
ini (seangkatan dengan Merari Siregar, Marah Rusli, dan Hamka) menghembuskan
nafasnya yang terakhir di Jakarta, pada usia 82 tahun, tepatnya tanggal 28
November 1975.
3. Sinopsis
Di
sebuah tempat bernama Sungaibatang, Maninjau, Suku Minang, Sumatera barat,
tinggal sebuah keluarga yang terdiri atas seorang ibu, seorang anak laki-laki
dan seorang lagi perempuan, serta seorang pembantu. Ibu itu bernama Mariati, si
lelaki, Asri, dan yang perempuan, Asnah. Sementara pembantu itu bernama Liah
dan dua anak itu biasa memanggilnya Mak Cik Lia. Keluarga itu saling mengasihi
satu sama lain sekalipun dengan si pembantu dan Asnah yang bukan anak kandung
Bu Mariati, mereka tidak peduli dengan hal tersebut. Asnah pun juga sayang pada
perempuan yang dianggap sebagai ibu kandung itu.
Ia selalu sabar
merawat Bu Mariati yang tengah sakit.
Asri dan Asnah semakin lama semakin dewasa dan semakin akrab sebagai saudara.
Mereka terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya
yang tidak diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya. Namun ada satu hal
yang sangat dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari seorang kakak,
melainkan rasa sayang seorang kekasih. Gadis itu sangat terpukul ketika sang
ibu meminta anak lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang akan
menjadi pendamping Asri karena adat melarang pernikahan sesuku seperti mereka.
Asri menjatuhkan pilihan pada seorang putri bangsawan yang cantik, adik kandung
mantan kekasihnya. Gadis itu bernama Saniah. Mereka bertunangan lalu menikah
setelah melewati beberapa adat Minangkabau.
Pernikahan Asri
dengan Saniah sangat jauh dari kata ‘bahagia’. Keduanya memiliki perbedaan yang
sangat kuat dalam masalah adat. Saniah selalu disetir sang ibu untuk mengikuti
adat yang sangat kaku dan kuno menurut Asri, karena Asri sudah terbiasa dengan
pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati adat, namun ia tidak suka terlalu
dikekang dan dipaksa-paksa seperti yang dilakukan Saniah padanya. Selain itu,
Saniah adalah wanita yang sombong, keras kepala, membedakan kelas sosial
masyarakat, dan tidak suka bergaul dengan tetangga. Saniah sangat cemburu
dengan keberadaan Asnah dan ia ingin menyingkirkan gadis itu dengan berbagai
cara, tentunya peran sang ibu tidak tertinggal.
Suatu hari penyakit bu Mariati menjadi sangat parah. Asnah beserta Mak Cik Liah
bergantian menjaganya, tak lupa juga Asri lebih sering mengunjungi ibunya yang
telah diasingkan Saniah di bagian rumah mereka yang lain. Penyakit bu Mariati
tidak dapat disembuhkan dan nyawanya telah lepas dari raga. Sebelum meninggal,
ibu itu berpesan kepada anaknya, ia menyesal telah meminta Asri menikah,
apalagi dengan Saniah. Wanita itu juga menjelaskan adat Minang yang tidak
melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah.Wanita itu berpesan
agar anak lelakinya itu menikah dengan anak angkatnya, Asnah yang sifatnya
sangat mulia dan dimata semua orang.
Setelah kematian
sang bunda, Asri selalu memikirkan petuah terakhir itu. Dan ia baru menyadari
perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman lamanya, Hasan Basri
datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah. Ia sangat cemburu dan
tidak bisa mengambil keputusan, sehingga segalanya ia serahkan kepada Asnah.
Asri sangat lega ketika Asnah menolak pinangan teman lamanya itu. Tanpa saling
bicara, keduanya bisa mengerti bahwa ada cinta diantara mereka. Saniah
menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita
yang tidak tahu diri. Kejadian itu diketahui Asri sehingga ia sangat marah
kepada Saniah dan keduanya bertengkar hebat, sementara Asnah memilih pergi dari
rumah itu dan tinggal bersama bu Mariah, adik ibu Mariati. Semenjak kepergian
Asnah, Asri tetap sering bertengkar dengan Saniah hingga ia tidak betah lagi
berada di rumah gadang itu.
Suatu ketika bu
Saleah, ibu dari Saniah mendapat kabar bahwa anak lelakinya akan menikah dengan
gadis biasa di perantauan. Ibu itu merasa geram, ia tidak mau mempunyai menantu
miskin dan dari suku lain, kemudian ia mengajak Saniah beserta pembantu mereka
pergi ketempat putranya untuk menggagalkan pernikahan itu. Saking geramnya, bu
Saleah meminta sopir mobil yang ia sewa untuk mengebut walaupun jalanan sangat
sulit. Alhasil, mobil yang mereka tumpangi kurang kendali sehingga masuk jurang
lalu Saniah dan ibunya meninggal dunia.
Semenjak Asri
menduda, banyak wanita yang datang menghampirinya. Namun, ia tidak pernah goyah
untuk mencintai Asnah, walaupun wanita-wanita yang menghampirinya lebih cantik.
Asri tidak bisa lagi menahan cintanya. Setelah berunding dengan bibinya yang
sekarang merawat Asnah, ia memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan
segala harta dan jabatannya untuk merantau ke Jawa, karena jika tidak pergi
dari situ, maka keduanya akan dikeluarkan dari suku secara tidak hormat.
Perantauannya menghasilkan sesuatu yang baik. Asri punya kedudukan yang baik
dan keduanya mempunyai banyak teman di sana. Ditengah rutinitas mereka di Jawa,
tepatnya di Jakarta, tiba-tiba datang surat dari Maninjau meminta agar keduanya
kembali ke sana dan Asri diminta untuk menjadi kepala pemerintahan.
Tanpa pikir
panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga
meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta, mereka sangat rindu dengan kampung
kelahirannya itu. Setibanya di Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang
sangat menghormati Asri atas jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas
kelembutan tabiat Asnah. Berawal dari Asri yang salah pilih istri, ia menjadi
tahu siapa orang yang sebenarnya ia cintai dan dengan berusaha keras ia mampu
hidup bersama sang kekasih dalam mahligai rumah tangga yang penuh cinta di
kampung halaman tercinta.
4. Analisis Unsur Intrinsik
v Tema
Percintaan, pertentangan
melawan adat, dan kesalahan seseorang dalam menentukan pilihan hatinya.
v Latar/Setting
ü
Tempat : Dalam roman ini disebutkan latarnya yaitu di daerah
Minangkabau, Sumatera Barat yaitu di Maninjau, Sungai Batang, Bayur, dan
Bukittinggi. Sebagian juga mengambil latar di pulau Jawa.
ü
Suasana : Latar suasananya lebih berbau Melayu dan menampakkan suasana
tegang, kacau, sedih dan gembira.
ü
Waktu : Saat pagi, siang, sore dan malam.
v Tokoh dan
penokohan
1)
Asri :
penyayang, sabar, terpelajar, taat pada orang tua.
2)
Asnah : berbudi luhur, ramah, pemaaf, taat pada orang tua, agak
tertutup.
3)
Mariatih : baik hati, sayang keluarganya.
4)
Siti Maliah: baik hati, penyayang.
5)
Saniah : pandai berakting, angkuh, suka menyindir, pencemburu,
pemarah.
6)
Rusiah : sabar,baik, lembut.
7)
Rangkayo : sombong dan angkuh
8)
Dt. Indomo: baik, tetapi takut pada
istri
9)
Kaharuddin: tidak suka membedakan
orang, baik hati
v Alur
Dalam roman
ini menggunakan alur maju
v Gaya
penulisan yang digunakan dalam roman ini banyak memakai bahasa Melayu dan juga
terdapat beberapa pantun.
v Gaya bahasa
ü
Personifikasi è Halaman 138 “Matanya
bersinar-sinar”.
ü
Metonimia : Pada setiap judul subbagian dalam cerita. Dan
masih banyak lagi
v Amanat yang
disampaikan dalam roman ini adalah :
ü Di
dalam cerita ini tersirat bahwa kekuatan Cinta lebih berharga daripada Harta.
ü Cerita
ini menggambarkan bahwa kitra harus mengikuti adat-istiadat yang berlaku di
daerah kita.
ü Cerita
ini menerangkan bahwa pendidikan itu sangat penting walaupun jauh sampai ke
negeri Belanda.
ü Cerita
ini memberi pemahaman kepada kita bahwa hidup ini dipenuhi dengan politik dan
hukum
ü Cerita
ini mengamanatkan kepada kita bahwa kita harus menghargai budaya yang berlaku
di daerah kita.
ü Roman
ini mengingat kan kita untuk menjauhi larangan-larangan nya.
v Sudut
Pandang
Dalam roman
ini yaitu menggunakan “orang pertama pelaku utama”
5. Adat, Kebiasaan, Pola Pikir, Etika dan
Perasaan
A.
Adat
1.
Dilarang menikah
jika pasangan sesama suku, pada kalimat:
“Gadis itu sangat terpukul ketika
sang ibu meminta anak lelakinya untuk segera menikah, dia tahu bukan ia yang
akan menjadi pendamping Asri karena adat melarang pernikahan sesuku seperti
mereka.”
2.
Adat yang dilakukan pasangan Asri dan saniah dengan adat Minangkabau, pada
kalimat:
“Mereka
bertunangan lalu menikah setelah melewati beberapa adat Minangkabau.”
3.
Dilarang menikah
jika suatu pasangan sedarah, pada kalimat:
“Wanita itu juga menjelaskan adat
Minang yang tidak melarang Asri dan Asnah menikah karena mereka tidak sedarah.”
4.
Jika suatu pasangan tidak meninggalkan daerah asal mereka akan dikeluarkan
secara tidak hormat, paa kalimat:
“Ia
memutuskan menikah dengan Asnah dan meninggalkan segala harta dan jabatannya
untuk merantau ke Jawa, karena jika tidak pergi dari situ, maka keduanya akan
dikeluarkan dari suku secara tidak hormat.”
B.
Kebiasaan
1.
Ditambahnya panggilan Mak Cik pada awal nama, pada kalimat:
“Sementara
pembantu itu bernama Liah dan dua anak itu biasa memanggilnya Mak Cik Lia.”
2.
Terbiasa jujur dalam satu keluarga, pada kalimat:
“Mereka
terbiasa jujur satu sama lain, bahkan Asnah mengetahui rahasia kakaknya yang
tidak diketahui sang bunda, begitu juga sebaliknya.”
C.
Pola
piker
D.
Etika
1.
Asri menghormati adat dari ibunya, pada kalimat :
“...karena
Asri sudah terbiasa dengan pendidikan luar yang bebas. Ia sangat menghormati
adat...”
2.
Penyambutan meriah
oleh warga untuk orang yang berjasa, pada kalimat:
“Setibanya
di Maninjau, mereka disambut meriah oleh warga yang sangat menghormati Asri
atas jasa-jasanya sebelum ia merantau dulu dan atas kelembutan tabiat Asnah.”
E.
Perasaan
1.
Asnah menyayangi Asri, pada kalimat:
“Namun
ada satu hal yang sangat dirahasiakan Asnah, dia menyayangi Asri lebih dari
seorang kakak, melainkan rasa sayang seorang kekasih.”
2.
Asri menyayangi Asnah, pada kalimat:
“Dan
ia baru menyadari perasaan sayangnya kepada Asnah yang lebih setelah teman
lamanya, Hasan Basri datang kepadanya untuk meminta izin memperistri Asnah”
3.
Saniah marah kepada
Asnah karena suaminya dekat dengan Asnah, pada kalimat:
“Saniah
menangkap keganjilan pada suaminya sehingga ia memaki-maki Asnah sebagai wanita
yang tidak tahu diri”
4.
Ibu Saleah geram karena Asri menantunya akan menikah dengan Asnah, pada
kalimat:
“Ibu
itu merasa geram, ia tidak mau mempunyai menantu miskin dan dari suku lain”
5.
Asri berat meninggalkan kawannya di Jakarta untuk kembali ke kampung
halaman, pada kalimat:
“Tanpa
pikir panjang mereka setuju untuk kembali ke Maninjau walaupun berat juga
meninggalkan kawan-kawannya di Jakarta, mereka sangat rindu dengan kampung
kelahirannya itu.”
Daftar Pustaka